Kamis, 03 Maret 2011

Kemerdekaan Pers vs Kode Etik

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengeluhkan adanya dua media televisi dan satu media cetak yang dinilainya menjelek-jelekkan pemerintah karena hanya menampilkan sisi keburukan dari pemerintah tanpa memberi solusi. Belakangan diketahui bahwa media yang dimaksud tersebut adalah Metro TV, TV One, dan Media Indonesia. Menurutnya lagi, media-media tersebut merepetisi gambar-gambar kerusuhan dengan narasi Indonesia sedang menuju negara gagal. Tidak hanya sampai disitu, dia kemudian meminta agar jajaran pemerintah memboikot media massa tersebut.

Pernyataan Dipo Alam itu langsung menuai kritik dari berbagai kalangan. Sikap tersebut dinilai bukan saja melecehkan kebebasan pers, tetapi juga demokrasi. Kita seperti ingin diajak untuk kembali ke masa orde baru yang otoriter dan represif, dimana pers dikekang dan diberangus. Dalam pekan-pekan terakhir ini, Dipo Alam menjadi bulan-bulanan kritik dari berbagai kalangan. Apakah memang seperti itu kenyataannya?

Saya pribadi mengikuti perkembangan media dan merupakan pemirsa dan pembaca setia dari media-media tersebut. Menurut saya, sebagian besar berita yang disampaikan oleh media-media tersebut sebenarnya cukup informatif dan bertanggungjawab, meski demikian sering juga terjadi media-media tersebut memang berlebihan dalam menyampaikan informasi terkait dengan kebijakan pemerintah. Sering merepetisi atau mengulang-ulang berita dan rekaman kerusuhan dengan narasi yang tendensius.

Saya pribadi pun pernah menjadi korban dari salah satu media itu ketika pemberitaan mengenai kasus Gayus Tambunan merebak di media. Ketika itu salah seorang reporter wanita yang cantik bersama juru kameranya meminta ijin kepada saya untuk sekedar mengambil gambar di ruang tunggu dan ruang sidang di kantor saya, kemudian mewawancarai salah seorang pemohon banding atau penggugat. Namun yang muncul kemudian di layar televisi adalah rekaman gambar saya yang sedang duduk di belakang meja informasi dan kantor tempat saya ditugaskan terus-menerus ditampilkan di layar televisi dengan narasi yang tendensius dan seperti menggiring opini masyarakat untuk memvonis institusi saya bersalah tanpa adanya bukti dan proses pengadilan. Hal yang berbeda saya alami ketika saya menerima media lain seperti RCTI, SCTV, TV One, Kompas, Tempo, dan media-media lainnya dimana saya diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan dan pemberitaannya tidak bersifat tendensius.

Oleh karenanya saya sangat memaklumi kenapa Dipo Alam mengeluhkan media-media tersebut. Satu hal yang mesti kita pahami, yang dikeluhkan oleh Dipo Alam bukanlah media-media yang kritis seperti Kompas, Tempo, Republika dan sebagainya. Sebagaimana yang diungkapkannya, menjelek-jelekan berbeda dengan mengkritik. Kritik biasanya dilakukan dengan santun dan diikuti dengan saran, sedangkan menjelek-jelekkan hanya sekedar mengungkap kejelekan tanpa memberikan solusi yang konstruktif.

Namun demikian tidak berarti pemerintah yang merasa dirugikan dapat melakukan tindakan sewenang-wenang, seperti misalnya memboikot atau dengan cara apapun karena hal itu bisa mencederai kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin. Pasal 4 Undang-undang Pers juga menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, terhadap pers tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, dan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pelanggaran atas hal tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.

Saya pribadi yang kebetulan menjadi redaktur di media cetak internal di kantor tempat saya bertugas, juga pernah mengalami hal yang tidak mengenakkan, yaitu ketika seorang pejabat melarang salah satu opini saya dimuat di media tersebut. Alasan pelarangan itu adalah karena tulisan saya yang membahas mengenai masalah pengadaan proyek IT itu dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman oleh pembacanya. Padahal jika ada pihak yang merasa dirugikan, mereka dapat menggunakan hak jawab maupun hak koreksi yang diatur dalam Undang-undang Pers. Kita memiliki Dewan Pers yang tugasnya mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Kita juga memiliki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran yang juga dapat memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran.

Namun demikian adanya jaminan atas kemerdekaan pers tidak berarti pers juga bisa seenaknya menyebarluaskan berita dan opini tanpa memperhatikan kode etik jurnalistik. Pers berkewajiban untuk mengembangkan opini berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Dalam Undang-undang Pers juga diatur bahwa pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut. Pelanggaran atas hal tersebut juga dapat dipidana dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah.

Dalam Undang-undang Penyiaran pun diatur bahwa isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong, menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Isi siaran juga dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Pelanggaran atas hal tersebut juga dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak sepuluh miliar rupiah.

(dari berbagai sumber)