Jumat, 18 Februari 2011

Ironi Sepakbola Indonesia

Kecemerlangan Tim Nasional Sepakbola Indonesia (Timnas) dalam Piala AFF 2010 beberapa waktu lalu berdampak luar biasa bagi sepakbola Indonesia. Meski Timnas gagal merebut gelar juara karena kalah agregat dari Timnas Malaysia 2-4, namun secara keseluruhan penampilan Timnas Indonesia bisa dibilang sangat mengesankan, baik dari segi teknik permainan maupun hasil. Dari 7 kali bertanding, Timnas yang memperagakan teknik menyerang yang atraktif berhasil menang 6 kali dan hanya 1 kali kalah, dengan memasukkan 18 gol dan hanya kemasukan 6 gol. Timnas yang kali ini diasuh oleh pelatih asal Austria, Alfred Riedl juga menghadirkan bintang-bintang baru, seperti pemain naturalisasi Cristian Gonzales, Irfan Bachdim, Okto Maniani, Ahmad Bustomi, Mohammad Nasuha, dan Arif Suyono. Bahkan pemain keturunan Belanda, Irfan Bachdim mampu menjadi magnit yang luar biasa bagi kaum hawa yang sebelumnya tidak begitu menggemari sepakbola.

Timnas yang tadinya tidak begitu diminati, tiba-tiba menjadi pemberitaan dimana-mana. Semua media cetak dan stasiun televisi berlomba-lomba memberitakan berbagai aktifitas Timnas. Euforia Timnas terjadi dimana-mana. Orang-orang terutama kaum hawa yang sebelumnya tidak begitu menyukai dan bahkan tidak memahami sepakbola, tiba-tiba menjadi pendukung Timnas. Bukan hanya stadion Gelora Bung Karno di Senayan yang selalu dipenuhi oleh penonton, kaos dan segala yang berhubungan dengan Timnas laku keras dimana-mana. Rakyat Indonesia menjelma menjadi begitu nasionalis karena sepakbola.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Menurut para pengamat, hal tersebut terjadi karena beberapa faktor. Setelah sekian lama bangsa Indonesia seperti kehilangan kebanggaan pada bangsanya sendiri sebagai akibat dari krisis ekonomi, politik dan hukum, kehadiran Timnas Indonesia bagai oase di padang yang tandus. Kehadiran Timnas sejenak bisa membuat bangsa ini melupakan kegetiran. Bangsa ini bersatu padu untuk mendukung Timnas dalam bingkai merah-putih dengan slogan kebanggaan Garuda Di Dadaku.

Namun demikian, euforia terhadap penampilan cemerlang Timnas di Piala AFF kali ini juga meninggalkan ironi dan yang sulit dicerna akal sehat. Bagaimana tidak, di tengah pujian selangit dari masyarakat dan media massa atas penampilan Timnas yang membanggakan, di saat yang sama sebagian besar pendukung Timnas dan media massa justru menghujat dan mendesak Nurdin Halid untuk mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Padahal Timnas yang mereka puji tersebut adalah bentukan PSSI, Alfred Riedl adalah pelatih pilihan PSSI dan pemain-pemain Timnas adalah produk dari kompetisi Liga Super Indonesia (LSI) yang dikelola oleh PSSI.

Saya pribadi juga sangat menyesalkan blunder yang dilakukan oleh Nurdin Halid dengan mengajak pemain-pemain Timnas melakukan istighosah dan berkunjung ke rumah Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie, padahal ketika itu Timnas sedang butuh konsentrasi untuk laga final. Hal tersebut dikeluhkan oleh Alfred Riedl sebagai kegiatan yang tidak perlu. Namun demikian terlalu berlebihan juga rasanya, jika hal itu dijadikan satu-satunya penyebab kekalahan Timnas dari Malaysia.

Momentum euforia Timnas ini tentu sangat positif apabila dapat tetap terjaga, bukan hanya untuk Timnas yang berlaga di piala AFF yang lalu, akan tetapi juga untuk masa depan sepakbola Indonesia yang sejak dulu minim prestasi. Bahkan dari segi bisnis, euforia Timnas ini juga menjanjikan keuntungan yang luar biasa. Dari hasil penjualan tiket saja, PSSI selaku panitia lokal berhasil meraup untung miliaran Rupiah, itu belum termasuk pemasukan panitia dari sponsor dan hak siar. Ini pun baru dari satu turnamen saja, PSSI sendiri saat ini melalui PT BLI secara regular juga mengelola LSI, kompetisi lokal yang diramaikan oleh pemain-pemain asing. Keuntungan finansial dari kompetisi yang sudah diakui oleh FIFA ini bahkan lebih besar, baik dari sponsor maupun hak siar.

Sepakbola sebagai olahraga yang paling popular di negeri ini, bahkan di dunia memang menyimpan potensi bisnis yang sangat besar. PSSI sebagai satu-satunya induk organisasi sepakbola di tanah air yang diakui oleh FIFA telah menjadi organisasi yang sangat seksi dan menarik semua orang untuk menguasainya, bukan hanya untuk kepentingan finansial namun juga kepentingan politik. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian besar pengurus PSSI saat ini memang diisi oleh kader-kader Golkar dan secara finansial di-backup oleh keluarga Bakrie, kecuali Bendahara PSSI Achsanul Qosasi dan Manajer Timnas U-23 Almarhum Adji Massaid yang merupakan kader Partai Demokrat.

Oleh karenanya bisa dimaklumi jika saat ini begitu banyak orang yang dulunya tidak pernah peduli dengan PSSI tiba-tiba menjadi sangat peduli dengan PSSI. Tuntutan mundur kepada Nurdin Halid dan aroma persaingan menjelang pemilihan Ketua Umum PSSI juga semakin kencang. Nurdin Halid yang didukung oleh Golkar dan keluarga Bakrie habis-habisan mempertahankan kekuasaannya, sebaliknya berbagai pihak di luar PSSI juga berusaha habis-habisan dengan segala cara untuk menjatuhkannya. Posisi Nurdin Halid yang ingin mencalonkan diri kembali mengalami tekanan yang luar biasa melalui black campaign. Status narapidana korupsi yang pernah disandangnya menjadi senjata yang paling ampuh untuk menjatuhkannya.

Saya pribadi sebagai pencinta sepakbola nasional yang sudah mengikuti perkembangan Timnas sejak lama juga merasa belum puas dengan prestasi Timnas saat ini. Suatu ironi memang, negeri dengan penduduk 230 juta dimana sepakbola menjadi olahraga yang paling digemari, justru mengalami kesulitan untuk memiliki Timnas yang tangguh. Menurut saya, dengan ratusan klub dan jutaan pemain sepakbola yang ada di Indonesia saat ini, semestinya Timnas kita bukan hanya terbaik di Asia Tenggara tetapi terbaik di Asia, bahkan disegani di dunia.

Kemajuan Timnas dan sepakbola Indonesia hanya bisa terwujud apabila didukung dengan manajemen pengelolaan yang profesional, bukan hanya kompetisi antar klub namun juga pembinaan pemain usia dini. Kinerja pengurus PSSI saat ini jelas belum sesuai harapan, namun demikian tidak adil juga apabila kita tidak menghargai upaya yang telah mereka lakukan. Jika kita mau jujur dengan hati nurani dan mengesampingkan faktor politik dan sentimen pribadi, semasa kepemimpinan Nurdin Halid yang didukung secara finansial oleh keluarga Bakrie, sepakbola Indonesia sebenarnya mengalami kemajuan yang cukup baik meski belum memuaskan. Sebagai buktinya penampilan cemerlang Timnas di Piala AFF beberapa waktu yang lalu.

Timnas kita secara kualitas teknik dan mental juga sudah mengalami peningkatan. Kasus suap dan sepakbola gajah memang pernah menimpa Timnas namun itu terjadi sebelum era Nurdin Halid, sedangkan tuduhan suap dalam piala AFF yang sempat beredar belum terbukti. Kini kita telah memiliki kompetisi LSI, meski belum 100% profesional karena selain Arema, Pelita Jaya, dan Semen Padang, klub peserta lainnya yang memang merupakan klub perserikatan yang dikelola oleh Pemda setempat masih mengandalkan sumber pendanaan dari APBD, namun telah diakui oleh AFC dan FIFA sebagai kompetisi terbaik di Asia Tenggara. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya jatah otomatis bagi juara LSI untuk mengikuti AFC Champions League, sementara klub juara di negara-negara Asia Tenggara lainnya harus melalui babak kualifikasi terlebih dahulu.

Kongres PSSI untuk memilih Ketua Umum yang baru akan segera dilaksanakan pada tanggal 26 Maret 2011 di Bali. Sudah ada empat bakal calon Ketua Umum PSSI, yaitu Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, Jenderal Goerge Toisutta, dan Arifin Panigoro. Saya tidak ingin mendukung, menghujat apalagi ikut-ikutan menfitnah salah satu dari mereka, sebagai manusia biasa keempatnya tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun demikian siapapun yang akhirnya nanti terpilih akan saya dukung untuk membangun sepakbola Indonesia menjadi lebih baik lagi. Yang pasti, PSSI harus menggelar kompetisi LSI yang sehat dan semua klub peserta harus didorong menjadi klub yang profesional dengan tidak lagi mengandalkan dana dari APBD maupun dari konsorsium. PSSI juga harus lebih intens dalam pembinaan pemain usia dini, serta yang tidak kalah pentingnya adalah memperbaiki perangkat pertandingan terutama kualitas wasit. Semoga.

(dari berbagai sumber)

Selasa, 08 Februari 2011

Pengadilan Pajak di Belanda

Sebagaimana kita ketahui bersama, di Indonesia, Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Di negara-negara lain tentunya juga terdapat badan peradilan pajak. Di negeri Belanda misalnya, tidak seperti di Indonesia yang hanya memiliki satu Pengadilan Pajak yang berkedudukan di Jakarta sebagai ibukota negara, di sana ada 5 Pengadilan Pajak. Seperti apa Pengadilan Pajak di negeri Belanda? Mari kita simak.

Di Belanda, sengketa pajak yang telah diputuskan di tingkat otoritas pajak dapat diajukan banding oleh wajib pajak kepada salah satu dari lima Pengadilan Pajak yang ada di Belanda. Pada dasarnya, pengadilan pajak ini merupakan cabang atau bagian dari 5 pengadilan banding regional (Gerechtshoven) atau semacam Pengadilan Tinggi di Indonesia. Kelima pengadilan banding regional tersebut berada di Amsterdam, The Hague, Arnhem, Leeuwarden, and Den Bosch. Kelima pengadilan tersebut menyidangkan sengketa banding yang berasal dari 19 pengadilan distrik (Rechtbanken) atau semacam Pengadilan Negeri di Indonesia. Selanjutnya putusan pengadilan pajak yang merupakan bagian dari pengadilan banding regional tersebut dapat diajukan banding lagi oleh wajib pajak ke Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad der Nederlanden) yang berkedudukan di The Hague. Majelis di Mahkamah Agung Belanda yang khusus menangani kasus sengketa perpajakan dinamakan Majelis ke-3 atau Majelis Pajak.

Dalam kasus-kasus penting, "the advocates general" (official advisers) dari Mahkamah Agung Belanda akan memberikan opini sebelum diterbitkannya putusan. Satu hal lagi yang berbeda di Belanda, apabila Mahkamah Agung Belanda memenangkan wajib pajak dan otoritas pajak Belanda tidak setuju dengan putusan Mahkamah Agung tersebut, maka otoritas pajak masih dapat mengajukan kasus yang sama kepada Mahkamah Agung. Apabila Mahkamah Agung tetap memenangkan wajib pajak, maka otoritas pajak Belanda akan merubah ketentuan perpajakannya.

Adanya rencana untuk membuka 5 cabang Pengadilan Pajak di 5 kota besar di daerah, kemungkinan ingin meniru Pengadilan Pajak yang ada di Belanda. Hanya saja 5 Pengadilan Pajak di Belanda bukan merupakan cabang dari Pengadilan Pajak yang berada di ibukota negara, akan tetapi merupakan bagian dari Pengadilan Tinggi di daerah setempat. Hal lain yang patut ditiru adalah putusan Mahkamah Agung yang memenangkan wajib pajak dimungkinkan untuk dijadikan acuan dalam merubah ketentuan perpajakan yang dianggap tidak adil.

Jakarta, 9 Februari, 2011

(dari berbagai sumber)