Jumat, 15 Januari 2010

Centurygate

Sebenarnya jenuh juga mengikuti kasus bailout Bank Century yang tidak ada habisnya ini. Namun melihat perkembangan yang ada saat ini, dimana berbagai isu-isu dan dugaan-dugaan yang sudah melebar kemana-mana dan tidak lagi fokus ke substansi permasalahan yang sebenarnya, ditambah lagi dengan begitu banyak orang yang lantang menuduh pejabat tertentu sebagai maling atau melakukan tindak pidana korupsi, padahal belum terbukti sama sekali, maka saya merasa perlu untuk sekedar berbagi pengetahuan.

Berbagai tuduhan yang berkembang saat ini sebagian besar hanya berdasarkan asumsi-asumsi dan dugaan-dugaan sementara, bahkan tidak sedikit yang sebenarnya sama sekali tidak memahami persoalan yang sesungguhnya, tetapi hanya sekedar ikut-ikutan agar dianggap telah memperjuangkan gerakan anti korupsi. Akibatnya yang terjadi adalah tanpa disadari, mereka telah melakukan fitnah keji yang sangat dilarang dalam ajaran agama.

Kalau dikatakan telah terjadi penyelewengan dalam kasus Bank Century secara umum, hal itu memang tidak dapat dipungkiri lagi. Namun kasus Bank Century ini tidak hanya terbatas pada masalah kebijakan bailout yang selama ini diributkan orang, namun lebih kompleks. Kasus Bank Century ini sesungguhnya terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu :
(1) Proses merger, pengawasan, dan Pemberian FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek) yang kewenangannya ada di Bank Indonesia (BI);
(2) Penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik oleh KSSK berdasarkan data dari BI;
(3) Penggunaan Dana FPJP dan PMS (Penyertaan Modal Sementara) sebesar Rp 6,7 triliun oleh LPS;

Menurut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam proses akuisisi dan merger Bank Danpac, Bank CIC, dan Bank Pikko menjadi Bank Century, BI bersikap tidak tegas dan tidak prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan yang ditetapkannya sendiri. BI juga dinilai tidak bertindak tegas dalam pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Bank Century selama 2005 sampai 2008, seperti BI tidak menempatkan Bank Century sebagai bank dalam pengawasan khusus, meskipun CAR Bank Century telah negatif 132,5%. BI juga memberikan keringanan sanksi denda atas pelanggaran posisi devisa neto atau PDN sebesar 50% atau Rp 11 miliar, dan BI tidak mengenakan sanksi pidana atas pelanggaran BMPK. BI juga patut diduga melakukan perubahan persyarakatan CAR dalam PBI agar Bank Century bisa mendapatkan FPJP. Pada saat pemberian FPJP, CAR Bank Century negatif 3,53%. Hal ini melanggar ketentuan PBI nomor 10/30/PBI/2008. Selain itu, nilai jaminan FPJP yang diperjanjikan hanya sebesar 83%, sehingga melanggar ketentuan PBI no 10/30/PBI/2008 yang menyatakan bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150% dari plafon FPJP.

Adapun mengenai penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang dilakukan oleh Sri Mulyani Indrawati selaku Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) bersama Wakil Presiden Boediono yang ketika itu menjabat Gubernur BI dilakukan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Menurut Sri Mulyani dalam pengarahannya beberapa waktu lalu kepada para bawahannya, termasuk saya, hal tersebut dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia yang ketika itu sedang mengalami ancaman krisis sebagai dampak dari krisis keuangan global.

Sri Mulyani bercerita, ketika itu dirinya selaku Menteri Keuangan sekaligus Menteri Koordinator Perekonomian sedang menghadapi krisis ekonomi global. Ibu Menteri masih ingat ketika itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan instruksi yang tegas bahwa jangan sampai Indonesia mengalami krisis ekonomi seperti yang pernah terjadi pada tahun 1997-1998 yang mengakibatkan Indonesia masuk dalam program IMF. Sementara Wakil Presiden ketika itu, Jusuf Kalla memberikan instruksi tidak boleh ada blanket guarantee, artinya jaminan simpanan di bank dibatasi hanya sampai dengan Rp 2 miliar, sedangkan simpanan yang di atas Rp 2 miliar tidak dijamin oleh Pemerintah.
Dalam situasi yang seperti itu, Gubernur Bank Indonesia ketika itu, Boediono memberikan informasi bahwa ada bank yang bernama Bank Century yang mengalami kalah kliring dan harus membayar sekitar Rp 200 miliar, sedangkan dana kas Bank Century ketika itu tinggal Rp 20 juta. Menurut hitung-hitungannya, apabila Bank Century ditutup ketika itu, maka Pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus membayar kepada para nasabah Bank Century sekitar Rp 6,4 triliun, sedangkan asset Bank Century ketika itu dihitung-hitung hanya sekitar Rp 600 Miliar. Berdasarkan hal tersebut, KSSK akhirnya memilih untuk menyelamatkan Bank Century dengan melakukan bailout yang biayanya ketika itu diperkirakan hanya Rp 632 Miliar.

Sri Mulyani menegaskan bahwa yang dilakukannya waktu itu adalah menyelamatkan system, confidence and trust dalam perbankan. Ukuran Bank Century memang tidak ada apa-apanya. Bank Century tidak tergolong dalam bank yang too big to fail ataupun too connected to fail yang merupakan syarat suatu bank berdampak sistemik. Bank Century juga tidak termasuk dalam systemically important bank. Dalam situasi perekonomian yang normal, Bank Century pasti ditutup, namun dalam situasi krisis, parameternya berbeda.

Menurut Raden Pardede yang ketika itu adalah Sekretaris KSSK, ketika itu ada tiga bank Pemerintah yang juga meminta bantuan likuiditas. Pemerintah kemudian memindahkan dana sebesar Rp 15 triliun yang disimpan di BI ke Bank Mandiri, BNI, dan BRI dengan tujuan untuk mengurangi tekanan likuiditas. Biaya yang dikeluarkan untuk menyelematkan Bank Century akhirnya memang besar, namun confidence and trust yang diselamatkan nilainya tidak terhitung. Menurutnya lagi, banyak yang lupa bahwa ketika itu Indonesia relatif berhasil selamat dari dampak krisis global dibandingkan dengan Negara-negara lain yang diakui dunia internasional.

Adapun kemudian, ternyata dana bailout meningkat hingga mencapai Rp 6,7 triliun, maka hal tersebut sudah di luar dari kewenangan Sri Mulyani selaku Ketua KSSK. Sebagaimana temuan BPK, ketika itu BI ternyata tidak memberikan informasi yang sepenuhnya lengkap dan mutakhir pada KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan). Informasi yang tidak utuh tersebut terkait PPAP atas SSP (surat-surat berharga), SSB valas yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang menurunkan CAR dan meningkatkan biaya penanganan. BI baru menerapkan secara tegas ketentuan PPAP atas aktiva-aktiva produktif setelah Bank Century diserahkan penanganannya kepada LPS, sehingga terjadi peningkatan biaya penanganan Bank Century dari yang semula diperkirakan sebesar Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun. Menurut Raden Pardede, hal tersebut membuat Sri Mulyani marah besar. Keterangan Raden Pardede tersebut ternyata sama dengan apa yang diungkapkan oleh Wakil Presiden ketika itu,Jusuf Kalla (JK) dalam keterangannya di depan Pansus DPR. Menurut JK, Sri Mulyani pernah mengatakan bahwa dirinya tertipu oleh data BI, sehingga dana bailout membengkak dari Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun.

Penggunaan dana sebesar Rp 6,7 triliun tersebut, menurut temuan BPK, sebesar Rp 5,86 triliun telah digunakan oleh LPS untuk menutupi kerugian Bank Century akibat adanya praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan yang dilakukan oleh pengurus bank, pemegang saham, maupun pihak terkait Bank Century.

Satu hal yang juga penting untuk diketahui agar kesalahpahaman tidak berlanjut, dana yang digunakan oleh LPS sebesar Rp 6,7 triliun tersebut tidak diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), akan tetapi diambil dari premi atau iuran bank peserta penjaminan di LPS.

Menurut hemat saya, akan lebih baik kiranya apabila kita melihat persoalan ini secara proporsional, dengan tidak mencampur-adukkan dua masalah yang berbeda, yaitu antara masalah tindak pidana korupsi atau perbedaan cara pandang yang mengakibatkan pengambilan kebijakan yang berbeda. Semuanya terlihat jelas dalam pemeriksaan Pansus DPR kemarin, dimana Sri Mulyani memberikan jawaban yang lugas dan tenang, bahkan terkesan memberikan kuliah kepada sebagian Anggota Pansus yang nampaknya tidak menguasai pokok permasalahan yang sebenarnya. Temuan BPK dan keterangan Wakil Presiden ketika itu, Jusuf Kalla sebenarnya juga sudah cukup memadai untuk ditindaklanjuti.

Negara kita adalah Negara hukum. Mari kita dukung aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus ini, dengan mengedepankan asas praduga tidak bersalah, tanpa harus terlibat dalam intrik-intrik politik, rekayasa, kriminalisasi, penghinaan, dan fitnah keji yang dilarang dalam ajaran agama. Semoga.

(dari berbagai sumber)