Rabu, 01 Juli 2009

Transfer Pricing

Transfer pricing adalah istilah yang popular dan lazim dalam dunia bisnis, namun dalam dunia pajak, istilah transfer pricing seperti tuyul, dia diyakini ada, bisa dirasakan kehadiran dan efeknya, namun tidak mudah untuk menemukan wujudnya dan membuktikannya. Lalu seperti apa sebenarnya transfer pricing itu? Menurut kamus ensiklopedia Wikipedia, transfer pricing refers to the pricing of contributions (assets, tangible and intangible, services, and funds) transferred within an organization. Sehingga dapat diartikan bahwa transfer pricing adalah suatu penetapan harga jual khusus dalam satu perusahaan atau grup perusahaan yang dipakai dalam pertukaran antar divisi atau anggota grup perusahaan, dengan tujuan untuk mencatat pendapatan di divisi atau perusahaan penjual dan biaya di divisi atau perusahaan pembeli. Tujuan utama dari transfer pricing sesungguhnya adalah untuk mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan, namun dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan kemajuan perusahaan menjadi perusahaan multinasional, maka lazimnya suatu perusahaan akan mencari cara untuk meningkatkan laba atau setidaknya efisiensi dalam pengeluaran, dengan maksud itu banyak perusahaan multinasional yang melakukan praktek transfer pricing.

Transfer pricing dalam lingkungan perusahaan multinasional dilakukan dengan cara melakukan transaksi antar anggota grup perusahaan multinasional yang mempunyai hubungan istimewa. Hubungan istimewa merupakan hubungan kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain dan hubungan ini terjadi karena adanya keterkaitan satu pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa. Transaksi dalam praktek transfer pricing ini biasanya meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya dengan harga khusus yang direkayasa. Melalui transfer pricing tersebut, perusahaan multinasional yang bersangkutan dapat menggeser kewajiban perpajakannya dari anggota grup perusahaannya di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih tinggi (high tax country) ke anggota grup perusahaannya di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih rendah (low tax country). Dengan praktek transfer pricing ini, suatu perusahaan di negara tertentu akan melaporkan rugi, sehingga tidak perlu membayar pajak. Hal tersebut tentu akan menghilangkan potensi penerimaan pajak negara tersebut.

Di Indonesia, untuk mengantisipasi dan mengurangi praktek transfer pricing ini, ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung kembali penghasilan atau laba fiskal dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal, apabila terdapat transaksi antara perusahaan yang merupakan Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha. Jika ada Wajib Pajak yang terbukti dengan sengaja menyatakan rugi padahal tidak, maka akan dikenakan sanksi. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3a) Undang-undang tentang Pajak Penghasilan juga dimungkinkan untuk membuat perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Perjanjian ini lazim disebut Advance Pricing Agreement (APA) sebagai kesepakatan di muka atas transfer pricing untuk tujuan penghitungan objek pajak.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah penertiban terhadap tax heaven secara internasional. Tax heaven pada dasarnya adalah suatu negara yang dengan sengaja memberikan fasilitas pajak berupa tarif pajak yang rendah kepada Wajib Pajak negara lain agar penghasilan dari Wajib Pajak negara lain tersebut dialihkan ke negara mereka. Oleh karena itu pemerintah harus menerbitkan aturan mengenai kategori negara mana saja yang dimaksudkan sebagai negara tax heaven. Apabila ada Wajib Pajak yang mengalihkan penghasilannya ke negara yang masuk dalam kategori tax heaven, maka penghasilan yang dialihkan tersebut dapat dikenakan pajak atas dasar tarif yang berlaku berdasarkan ketentuan pajak di Indonesia . Hal lain lagi tentunya adalah dengan meningkatkan kecakapan maupun jumlah petugas auditor pajak.

Berbagai kebijakan dan pendekatan yang dilakukan oleh aparat pajak atas dugaan transfer pricing ini tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan keberatan dari pihak Wajib Pajak yang kemudian berlanjut ke tingkat banding di Pengadilan Pajak. Apabila sengketa tersebut sampai ke meja Hakim Pengadilan Pajak, maka merupakan kewenangan Hakim untuk melakukan pemeriksaan terhadap keterangan dan bukti-bukti dari kedua belah pihak yang bersengketa. Pasal 76 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menegaskan bahwa Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti. Adapun alat bukti itu dapat berupa surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan para saksi, pengakuan para pihak dan pengetahuan Hakim.

Dengan demikian Majelis Hakim yang memeriksa kasus dugaan transfer pricing dapat meminta kedua belah pihak untuk menunjukkan sedikitnya dua alat bukti otentik yang mendukung alasannya masing-masing. Wajib Pajak dalam hal ini harus dapat membuktikan bahwa harga yang mereka tetapkan adalah harga yang wajar, sebaliknya pihak aparat pajak juga harus dapat menunjukkan bukti bahwa harga yang ditetapkan oleh Wajib Pajak adalah harga yang tidak wajar. Majelis Hakim dapat meminta kedua belah pihak yang bersengketa atau salah satu dari mereka untuk menunjukkan data pembanding harga, biaya, dan laba kotor dari perusahaan-perusahaan lain yang usahanya sejenis dengan Wajib Pajak. Data pembanding diperlukan untuk mengetahui harga, biaya, dan laba kotor yang wajar. Harga yang ditetapkan oleh Wajib Pajak, biaya dan laba kotornya kemudian dibandingkan dengan data pembanding harga, biaya, dan laba kotor yang telah sesuai dengan asas kewajaran (arm's length principle), hingga akhirnya berdasarkan hasil penilaian pembuktian tersebut, Majelis Hakim dapat bermusyawarah dan membuat putusan.