Transfer pricing dalam lingkungan perusahaan multinasional dilakukan dengan cara melakukan transaksi antar anggota grup perusahaan multinasional yang mempunyai hubungan istimewa. Hubungan istimewa merupakan hubungan kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain dan hubungan ini terjadi karena adanya keterkaitan satu pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa. Transaksi dalam praktek transfer pricing ini biasanya meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya dengan harga khusus yang direkayasa. Melalui transfer pricing tersebut, perusahaan multinasional yang bersangkutan dapat menggeser kewajiban perpajakannya dari anggota grup perusahaannya di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih tinggi (high tax country) ke anggota grup perusahaannya di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih rendah (low tax country). Dengan praktek transfer pricing ini, suatu perusahaan di negara tertentu akan melaporkan rugi, sehingga tidak perlu membayar pajak. Hal tersebut tentu akan menghilangkan potensi penerimaan pajak negara tersebut.
Di Indonesia, untuk mengantisipasi dan mengurangi praktek transfer pricing ini, ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung kembali penghasilan atau laba fiskal dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal, apabila terdapat transaksi antara perusahaan yang merupakan Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha. Jika ada Wajib Pajak yang terbukti dengan sengaja menyatakan rugi padahal tidak, maka akan dikenakan sanksi. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3a) Undang-undang tentang Pajak Penghasilan juga dimungkinkan untuk membuat perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Perjanjian ini lazim disebut Advance Pricing Agreement (APA) sebagai kesepakatan di muka atas transfer pricing untuk tujuan penghitungan objek pajak.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah penertiban terhadap tax heaven secara internasional. Tax heaven pada dasarnya adalah suatu negara yang dengan sengaja memberikan fasilitas pajak berupa tarif pajak yang rendah kepada Wajib Pajak negara lain agar penghasilan dari Wajib Pajak negara lain tersebut dialihkan ke negara mereka. Oleh karena itu pemerintah harus menerbitkan aturan mengenai kategori negara mana saja yang dimaksudkan sebagai negara tax heaven. Apabila ada Wajib Pajak yang mengalihkan penghasilannya ke negara yang masuk dalam kategori tax heaven, maka penghasilan yang dialihkan tersebut dapat dikenakan pajak atas dasar tarif yang berlaku berdasarkan ketentuan pajak di Indonesia . Hal lain lagi tentunya adalah dengan meningkatkan kecakapan maupun jumlah petugas auditor pajak.
Berbagai kebijakan dan pendekatan yang dilakukan oleh aparat pajak atas dugaan transfer pricing ini tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan keberatan dari pihak Wajib Pajak yang kemudian berlanjut ke tingkat banding di Pengadilan Pajak. Apabila sengketa tersebut sampai ke meja Hakim Pengadilan Pajak, maka merupakan kewenangan Hakim untuk melakukan pemeriksaan terhadap keterangan dan bukti-bukti dari kedua belah pihak yang bersengketa. Pasal 76 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menegaskan bahwa Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti. Adapun alat bukti itu dapat berupa surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan para saksi, pengakuan para pihak dan pengetahuan Hakim.