Selasa, 26 Agustus 2008

Meraih kembali kemerdekaan

Minggu, 2008 Agustus 17


Merdeka (independence) dalam perspektif bangsa adalah bebas atau lepasnya suatu bangsa dari penjajahan bangsa lain, baik secara politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Oleh karenanya Bangsa yang Merdeka adalah bangsa yang bebas mengatur dirinya sendiri tanpa intervensi dari bangsa lain. Bangsa yang Merdeka adalah bangsa yang membangun dirinya sendiri sesuai dengan karakternya tanpa dependensi pada bangsa lain. Sehubungan dengan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-63 kali ini, setiap orang tentu mempunyai pendapat dan asumsi yang berbeda-beda dalam memaknai kemerdekaan ini.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah Republik Indonesia yang tercinta ini sudah benar-benar merdeka dalam arti yang sesungguhnya? Ataukah proklamasi yang telah dirintis oleh para Founding Fathers 63 tahun yang lalu, kini hanya tinggal kenangan karena sesungguhnya kemerdekaan saat ini adalah nisbi. Realitanya, menurut sebagian orang, bangsa ini masih dijajah oleh bangsa lain, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus, hanyalah romatisme masa lalu yang bersifat seremonial semata.

Sementara bagi sebagian orang lagi yang optimistis, menjadikan momentum Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ini sebagai ajang refleksi untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme kita sebagai bangsa yang telah mendekati titik nadir, bahkan mungkin telah pupus. Dengan semangat nasionalisme inilah kita akan dapat memerdekakan diri kita dari penjajahan materi, westernisasi, fanatisme sempit, kemalasan dan kebodohan.

Semangat nasionalisme ini diyakini pada akhirnya akan berimplikasi pada penemuan kembali karakter asli bangsa ini, yaitu bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama, etos kerja yang tinggi, semangat gotong-royong, dan budaya nusantara. Bangsa yang membangun dirinya sendiri sesuai dengan karakternya tanpa bergantung pada bangsa lain, tentu akan berdampak pada kemandirian bangsa secara politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Suatu bangsa yang mandiri adalah hakikat dari bangsa yang merdeka.

Akhirnya, harapan kita, semoga dengan semangat nasionalisme, Bangsa Indonesia bisa meraih kembali hakikat kemerdekaannya yang telah lama hilang. Merdeka!

Sabtu, 02 Agustus 2008

Nasionalisme

Nasionalisme adalah pilar utama dalam berbangsa dan bernegara. Sebuah negara yang tidak ditopang dengan pilar nasionalisme yang kokoh, akan menjadi rapuh, kemudian runtuh, dan akhirnya tinggal sejarah. Kejayaan Bangsa Romawi, Mesir Kuno, Yunani Kuno, Mongol, Andalusia, Ottoman, Majapahit, Sriwijaya, Gowa, dan Mataram, kini hanya tinggal kenangan yang bisa kita ketahui melalui buku sejarah dan sisa-sisa peninggalannya. Tentu kita tidak berharap Republik Indonesia yang tercinta ini mengalami nasib yang sama dengan bangsa-bangsa pendahulunya itu.

Pengertian nasionalisme di sini, tentunya bukan dalam arti yang sempit, simbolis, dan seremonial belaka, seperti misalnya, seseorang baru akan disebut nasionalis apabila dia rutin mengikuti upacara penaikan bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, meski dalam prilakunya sehari-hari senantiasa merugikan negara dan bangsanya. Pengertian nasionalisme di sini adalah perasaan cinta, rasa memiliki, dan mau berkorban dari individu atau sekelompok orang terhadap bangsa dan negaranya.

Dr. Frederick Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics, mengidentifikasi 4 (empat) unsur nasionalisme, yaitu hasrat untuk mencapai kesatuan, mencapai kemerdekaan, mencapai keaslian, dan kehormatan bangsa. Jadi seorang nasionalis sejatinya akan mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongannya.

Dalam perspektif aparat negara, nasionalisme tidak semata-mata ditunjukkan melalui kegiatan seremonial dan simbolis semata, akan tetapi diaplikasikan dalam prilaku dan perbuatannya. Seorang pegawai negeri misalnya, baru dapat disebut nasionalis apabila dia telah melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga, suku, atau partainya. Seorang nasionalis sejati pasti tidak akan melakukan perbuatan yang merugikan negara, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan pemborosan keuangan negara.

Sehubungan dengan fungsi pelayanan publik, institusi Pengadilan Pajak dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal dalam upaya menyelesaikan sengketa pajak secara adil, dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Pertanyaannya sekarang, sudahkan kita memberikan pelayanan yang optimal dan memuaskan para pihak yang bersengketa, seperti Pemohon Banding/Penggugat dan Terbanding/Tergugat?

Untuk mewujudkan hal tersebut, tentulah dibutuhkan instrumen atau perangkat kerja, antara lain adalah struktur organisasi yang tepat, uraian pekerjaan yang efektif dan efisien, sumber daya yang berkualitas, dan remunerasi yang memadai. Namun satu hal yang terpenting adalah semua instrumen tersebut hanya dapat berjalan dengan baik, apabila didukung dengan semangat nasionalisme. Semuanya akan menjadi tidak berarti apa-apa, apabila di dalam diri kita sendiri tidak ada semangat nasionalisme.

Oleh karenanya, momentum Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-63 ini adalah merupakan saat yang tepat bagi kita untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme kita sebagai aparat negara (public servant) yang telah mendekati titik nadir, bahkan mungkin telah pupus. Dengan semangat nasionalisme kita akan dapat memerdekakan diri kita dari penjajahan materi, ambisi kekuasaan, fanatisme sempit, kemalasan dan kebodohan. Semoga dengan semangat nasionalisme, Pengadilan Pajak dapat melaksanakan fungsi pelayanan publik yang optimal dan memuaskan semua pihak, demi tercapainya keadilan dan kepastian hukum penyelesaian sengketa pajak di Republik Indonesia yang tercinta ini. Merdeka!