Sabtu, 15 November 2008

Pengabdian Dua Orang Bidan

Pada awal ramadhan lalu, ketika sebagian besar umat muslim sedang menjalani ibadah puasa, berjuang menahan lapar dan haus, sebagian lagi mungkin masih terlelap dalam tidur siangnya, saya menyempatkan waktu untuk menonton acara talk show favorit saya di televisi, Kick Andy. Ada seorang Ibu setengah baya, namanya Ibu Siti Aminah. Beliau adalah seorang bidan, tapi bukan bidan biasa. Dengan bekal pengetahuan dan keterampilannya di bidang kesehatan, Ibu Aminah ini ternyata telah lama membaktikan hidupnya untuk membantu masyarakat miskin di kawasan kumuh, Cilincing, Jakarta Utara serta perkampungan nelayan di Bekasi dan sekitarnya. Bersama mobil ambulance dan seorang supir, Ibu Aminah berkeliling kampung mencari pasien. Bahkan pada waktu-waktu tertentu, apabila sang supir berhalangan, Ibu Aminah sendirilah yang mengemudikan mobil pribadinya yang telah disulap menjadi mobil ambulance itu untuk berkeliling kampung, mencari pasien, dan mengobatinya di tempat.

Kita sering mendengar atau membaca di media massa, banyak orang sakit yang berasal dari keluarga miskin, terpaksa harus mengurut dada dan pulang ke rumah setelah ditolak oleh pihak rumah sakit karena tidak mampu membayar uang jaminan. Alhamdulillah, di tengah kota metropolitan Jakarta yang individualistis ini, masih ada seorang tenaga kesehatan seperti Ibu Aminah ini. Tenaga Kesehatan yang tidak pernah meminta bayaran kepada pasiennya, apalagi meminta uang jaminan. Malah tidak jarang, justru Ibu Aminahlah yang mengeluarkan uang untuk membayarkan uang jaminan, ketika ada pasiennya yang terpaksa harus dirawat di rumah sakit. Bahkan Ibu Aminah pernah menjual perhiasan miliknya demi membantu salah seorang pasiennya.

Seorang bidan lagi bernama Ros Rosita. Wanita berjilbab ini telah mengabdikan hidupnya untuk melayani kesehatan orang-orang suku Baduy selama lebih dari 10 tahun. Bidan yang akrab dipanggil Bidan Ros ini, rela menempuh perjalanan dengan jalan kaki hingga 6 jam lamanya, demi mengunjungi para pasiennya di pedalaman hutan Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten. Bidan Ros ternyata memerlukan waktu 2 tahun lamanya agar metode dan peralatan medis modern miliknya, seperti jarum suntik, obat-obatan, dan konsep imunisasi, bisa diterima di kalangan suku Baduy yang terkenal sangat anti terhadap segala hal yang berbau modern.

Hingga kini, Bidan Ros tetap menjalani pelayanan kesehatan dengan waktu praktik 24 jam dengan bayaran seadanya. Misalnya pada awalnya, setelah membantu seorang ibu melahirkan, biasanya dia dibayar hanya sepuluh ribu rupiah. “Alhamdulillah sekarang sudah naik sedikit menjadi dua puluh ribu rupiah,” tutur Bidan Ros sambil tersenyum, seorang bidan yang berkeinginan untuk mendirikan rumah bersalin di kawasan suku Baduy.

Saya yakin, di negeri ini masih banyak tenaga kesehatan atau orang-orang dengan profesi lain yang terpanggil hatinya untuk membaktikan hidup dalam membantu orang-orang yang tidak mampu seperti Ibu Aminah dan Ros Rosita. Hanya saja, jumlahnya masih sangat sedikit, tidak seimbang dengan jumlah orang yang membutuhkan bantuan. Mari kita berdoa buat Ibu Aminah dan Ros Rosita serta semua orang-orang yang berhati mulia untuk tetap semangat dalam perjuangannya membantu orang-orang yang tidak mampu. Kita mungkin belum bisa berbuat banyak seperti kedua bidan ini, namun setidaknya, Ibu Aminah dan Ros Rosita telah menjadi inspirasi bagi kita, untuk terpanggil dan mulai melakukan sesuatu, sekecil apapun itu, untuk membantu orang-orang yang lemah. Semoga.

(Adnan, 20 September 2008)

3 komentar

Selasa, 26 Agustus 2008

Meraih kembali kemerdekaan

Minggu, 2008 Agustus 17


Merdeka (independence) dalam perspektif bangsa adalah bebas atau lepasnya suatu bangsa dari penjajahan bangsa lain, baik secara politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Oleh karenanya Bangsa yang Merdeka adalah bangsa yang bebas mengatur dirinya sendiri tanpa intervensi dari bangsa lain. Bangsa yang Merdeka adalah bangsa yang membangun dirinya sendiri sesuai dengan karakternya tanpa dependensi pada bangsa lain. Sehubungan dengan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-63 kali ini, setiap orang tentu mempunyai pendapat dan asumsi yang berbeda-beda dalam memaknai kemerdekaan ini.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah Republik Indonesia yang tercinta ini sudah benar-benar merdeka dalam arti yang sesungguhnya? Ataukah proklamasi yang telah dirintis oleh para Founding Fathers 63 tahun yang lalu, kini hanya tinggal kenangan karena sesungguhnya kemerdekaan saat ini adalah nisbi. Realitanya, menurut sebagian orang, bangsa ini masih dijajah oleh bangsa lain, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus, hanyalah romatisme masa lalu yang bersifat seremonial semata.

Sementara bagi sebagian orang lagi yang optimistis, menjadikan momentum Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ini sebagai ajang refleksi untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme kita sebagai bangsa yang telah mendekati titik nadir, bahkan mungkin telah pupus. Dengan semangat nasionalisme inilah kita akan dapat memerdekakan diri kita dari penjajahan materi, westernisasi, fanatisme sempit, kemalasan dan kebodohan.

Semangat nasionalisme ini diyakini pada akhirnya akan berimplikasi pada penemuan kembali karakter asli bangsa ini, yaitu bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama, etos kerja yang tinggi, semangat gotong-royong, dan budaya nusantara. Bangsa yang membangun dirinya sendiri sesuai dengan karakternya tanpa bergantung pada bangsa lain, tentu akan berdampak pada kemandirian bangsa secara politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Suatu bangsa yang mandiri adalah hakikat dari bangsa yang merdeka.

Akhirnya, harapan kita, semoga dengan semangat nasionalisme, Bangsa Indonesia bisa meraih kembali hakikat kemerdekaannya yang telah lama hilang. Merdeka!

Sabtu, 02 Agustus 2008

Nasionalisme

Nasionalisme adalah pilar utama dalam berbangsa dan bernegara. Sebuah negara yang tidak ditopang dengan pilar nasionalisme yang kokoh, akan menjadi rapuh, kemudian runtuh, dan akhirnya tinggal sejarah. Kejayaan Bangsa Romawi, Mesir Kuno, Yunani Kuno, Mongol, Andalusia, Ottoman, Majapahit, Sriwijaya, Gowa, dan Mataram, kini hanya tinggal kenangan yang bisa kita ketahui melalui buku sejarah dan sisa-sisa peninggalannya. Tentu kita tidak berharap Republik Indonesia yang tercinta ini mengalami nasib yang sama dengan bangsa-bangsa pendahulunya itu.

Pengertian nasionalisme di sini, tentunya bukan dalam arti yang sempit, simbolis, dan seremonial belaka, seperti misalnya, seseorang baru akan disebut nasionalis apabila dia rutin mengikuti upacara penaikan bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, meski dalam prilakunya sehari-hari senantiasa merugikan negara dan bangsanya. Pengertian nasionalisme di sini adalah perasaan cinta, rasa memiliki, dan mau berkorban dari individu atau sekelompok orang terhadap bangsa dan negaranya.

Dr. Frederick Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics, mengidentifikasi 4 (empat) unsur nasionalisme, yaitu hasrat untuk mencapai kesatuan, mencapai kemerdekaan, mencapai keaslian, dan kehormatan bangsa. Jadi seorang nasionalis sejatinya akan mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongannya.

Dalam perspektif aparat negara, nasionalisme tidak semata-mata ditunjukkan melalui kegiatan seremonial dan simbolis semata, akan tetapi diaplikasikan dalam prilaku dan perbuatannya. Seorang pegawai negeri misalnya, baru dapat disebut nasionalis apabila dia telah melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga, suku, atau partainya. Seorang nasionalis sejati pasti tidak akan melakukan perbuatan yang merugikan negara, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan pemborosan keuangan negara.

Sehubungan dengan fungsi pelayanan publik, institusi Pengadilan Pajak dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal dalam upaya menyelesaikan sengketa pajak secara adil, dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Pertanyaannya sekarang, sudahkan kita memberikan pelayanan yang optimal dan memuaskan para pihak yang bersengketa, seperti Pemohon Banding/Penggugat dan Terbanding/Tergugat?

Untuk mewujudkan hal tersebut, tentulah dibutuhkan instrumen atau perangkat kerja, antara lain adalah struktur organisasi yang tepat, uraian pekerjaan yang efektif dan efisien, sumber daya yang berkualitas, dan remunerasi yang memadai. Namun satu hal yang terpenting adalah semua instrumen tersebut hanya dapat berjalan dengan baik, apabila didukung dengan semangat nasionalisme. Semuanya akan menjadi tidak berarti apa-apa, apabila di dalam diri kita sendiri tidak ada semangat nasionalisme.

Oleh karenanya, momentum Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-63 ini adalah merupakan saat yang tepat bagi kita untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme kita sebagai aparat negara (public servant) yang telah mendekati titik nadir, bahkan mungkin telah pupus. Dengan semangat nasionalisme kita akan dapat memerdekakan diri kita dari penjajahan materi, ambisi kekuasaan, fanatisme sempit, kemalasan dan kebodohan. Semoga dengan semangat nasionalisme, Pengadilan Pajak dapat melaksanakan fungsi pelayanan publik yang optimal dan memuaskan semua pihak, demi tercapainya keadilan dan kepastian hukum penyelesaian sengketa pajak di Republik Indonesia yang tercinta ini. Merdeka!

Minggu, 13 Juli 2008

Character Building

Membangun karakter atau yang lebih populer dengan istilah Character Building, merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Istilah ini biasanya banyak dijual di kursus-kursus kepribadian, bahkan diobral di seminar-seminar yang bertajuk pengembangan diri, entah itu dalam bentuk implementatif maupun hanya sekedar teori. Oleh karenanya wajar apabila kemudian timbul pertanyaan dari pembaca yang budiman : “Membangun karakter? Apa, sih? Cape, deh!”

Sebagaimana yang telah kita pahami bersama, pengertian karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, seperti tabiat, watak, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Sedangkan pengertian dari membangun adalah proses pengolahan dan pembentukan suatu unsur atau materi yang sudah ada menjadi sesuatu yang baru dan berbeda. Dari kedua pengertian tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa membangun karakter adalah suatu proses pembentukan watak atau budi pekerti. Tentunya dalam pengertian yang positif, tujuan dari pembentukan watak atau budi pekerti di sini adalah menjadi lebih baik dan terpuji dalam kapasitasnya sebagai pribadi yang mempunyai akal budi dan jiwa.

Pertanyaan berikutnya : So what gitu, lho? Apa hubungannya dengan kita-kita yang ada di Pengadilan Pajak? Adakah dia bisa membuat kita lebih cantik atau ganteng, kelihatan lebih seksi dan awet muda? Jawabannya adalah ya! Why not? Apabila hal tersebut kita kaitkan dengan inner beauty atau inner handsome, tentu pribadi yang baik dan jiwa yang sehat akan memancarkan aura yang positif yang bisa membuat kita kelihatan lebih cantik atau tampan, seksi, dan awet muda.

Dalam perspektif yang lebih luas, hal tersebut dapat kita korelasikan dengan harapan dan usaha kita untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik. Sebagaimana kita mahfum, gaji dan tunjangan yang kita terima setiap bulannya, sebagian besar bersumber dari pajak yang dipungut oleh Negara dari rakyat, dan hal itu bisa diartikan bahwa sejatinya kita ini adalah pegawainya rakyat, maka sebagai pegawai rakyat, kita wajib untuk bekerja seoptimal mungkin untuk rakyat. Paradigma bahwa Pegawai Negeri adalah Penguasa (The Lord) yang bisa bersikap seenaknya dan sewenang-wenang kepada rakyat, semestinya diubah menjadi Pegawai Negeri yang berkarakter (terpuji), yaitu Pegawai Negeri yang mendefinisikan dan memosisikan diri sebagai Pelayan Rakyat (Public Servant).

Lalu pertanyaannya sekarang : How? Dengan cara apa kita bisa membangun karakter yang terpuji itu? Jawabannya adalah banyak cara untuk itu, baik melalui pendidikan formal dan informal, maupun melalui aktualisasi diri. Salah satu cara yang telah diupayakan Sub Bagian Kepegawaian/Sumber Daya Manusia di Pengadilan Pajak adalah melalui pendidikan informal, yaitu training ESQ. Fenomena training ESQ beberapa waktu yang lalu bisa kita ibaratkan sebagai oase di padang yang tandus. Meski efek positifnya hanya terasa kurang-lebih seminggu, namun hal tersebut memberikan secercah harapan bahwa sesungguhnya kita masih mempunyai hasrat untuk introspeksi diri demi menjadi pribadi yang lebih baik, bertanggung jawab, baik kepada diri sendiri, negara, bangsa, dan tentunya kepada Tuhan Yang Mahaesa. Betapa meruginya kita, apabila penyesalan dan linangan air mata yang tumpah-ruah pada saat itu, menjadi sia-sia hanya karena kita mengulangi lagi perbuatan buruk yang telah kita sesali.

Adapun pendidikan formal sebagai salah satu instrumen dalam membangun karakter adalah dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan formal secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada pengembangan karakter individu seseorang. Pola pikir seorang Doktor dan Master yang sudah terbiasa menganalisa suatu obyek atau pokok permasalahan secara lebih mendalam dan mendetail, semestinya akan berbeda dengan seorang Sarjana Strata Satu yang dididik dengan teori-teori dan aplikasinya yang masih bersifat umum.

Upaya membangun karakter melalui aktualisasi diri, bisa kita lakukan dengan ikut aktif dalam berbagai kegiatan, baik di lingkungan tempat kerja maupun masyarakat. Aktulisasi diri di lingkungan masyarakat bisa dilakukan dengan aktif di kegiatan dengan lingkup yang kecil seperti RT, RW, atau aktif di lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, seperti LSM, atau di lembaga-lembaga keagamaan, seperti forum pengajian atau persekutuan gereja. Sedangkan aktualisasi diri di lingkungan tempat kerja kita di Pengadilan Pajak, bisa dilakukan dengan ikut aktif di pengadaan, maupun di berbagai kegiatan PIU, seperti CMCAS, Transformasi SDM, dan Survei Kepuasan Stakeholder.

Akhirnya, selain instrumen-instrumen yang sudah dijabarkan di atas, ada satu hal yang sangat prinsip dan merupakan kata kunci atau main point, yakni keinginan untuk berubah menjadi lebih baik sesungguhnya berpulang pada moral choice (keputusan moral) pada masing-masing individu itu sendiri. Pendidikan formal, training ESQ, aktualisasi diri, atau kegiatan apapun yang sejenis, hanyalah media atau instrumen belaka. Semuanya akan menjadi tidak berarti, apabila di dalam diri individu yang bersangkutan tidak ada keinginan yang kuat (spirit) untuk berubah.

The Residence, The Sultan Hotel complex, 15 April 2008

Adn@n

(dimuat di Tax Court Media edisi Juni 2008)

Cinta dalam Komitmen Reformasi

Apabila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia…

Walau jalannya sukar dan curam…

Dan pabila sayapnya memelukmu, menyerahlah kepadanya…

Walau pedang yang tersembunyi di antara ujung-ujung sayapnya bisa melukaimu…


Untaian kalimat indah dari Penyair Kahlil Gibran di atas, menunjukkan betapa dahsyatnya daya magis cinta. Cinta bisa membuat seseorang rela untuk melakukan dan mengorbankan apapun yang dimilikinya untuk orang yang dicintai, meski itu mungkin dapat melukai bahkan membunuhnya. Oleh karenanya komitmen reformasi yang merupakan cita-cita kita bersama, hanya dapat terwujud, apabila di dalamnya ada cinta, karena mencintai adalah keinginan untuk selalu memberi, mempersembahkan yang terbaik, melindungi, dan menjaga kehormatannya.

Kalimat pertama yang akan muncul kemudian di benak kita adalah apa alasan kita untuk mencintai Pengadilan Pajak? Adakah dia secantik Tamara Blezensky atau setampan Brad Pitt? Tentu tidak. Seperti yang telah kita pahami bersama, Pengadilan Pajak adalah lokus atau tempat dimana kita menghabiskan sebagian besar waktu kita untuk berkarya. Di sinilah tempat kita bekerja, mencari nafkah, dan bergaul, atau sekedar berlindung dari teriknya mentari, polusi udara, derasnya hujan, banjir, dan kemacetan. Jika dihitung, durasi dari jam 7.30 pagi sampai jam 5 sore, kita menghabiskan waktu di institusi ini paling tidak 9 jam sehari. Bandingkan dengan waktu kita untuk berkumpul dengan keluarga di rumah yang efektif hanya sekitar 4 jam sehari. Suka atau tidak suka, Pengadilan Pajak adalah rumah kita yang sesungguhnya. Kita adalah bagian dari Pengadilan Pajak. Itulah alasan logis mengapa kita mencintai Pengadilan Pajak.

Sebagai makhluk yang relijius, tentu perasaan cinta kita ini, tidak hanya sekedar keinginan untuk melakukan yang terbaik bagi Pengadilan Pajak, akan tetapi juga dibarengi dengan rasa tanggung jawab yang besar kepada Negara, Bangsa, dan tentunya, kepada Tuhan Yang Mahaesa. Dengan makna cinta seperti inilah, maka komitmen atau janji kita untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik akan terealisasi.

Penulis berharap, momentum enam tahun eksistensi Pengadilan Pajak di negeri ini, bisa menjadi starting point atau titik awal dalam upaya kita untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dalam segala aspek. Saat ini, reformasi adalah merupakan suatu keharusan apabila kita ingin tetap eksis di tengah desakan perubahan yang begitu cepat. Komitmen tidak lagi hanya terbersit dalam hati atau sekedar hiasan dalam kata tanpa makna, akan tetapi harus diaplikasikan melalui kerja yang nyata. Semangat perubahan tidak hanya menjadi responsibilitas para Change Agent, akan tetapi sudah merupakan kebutuhan kita semua sebagai manusia untuk selalu ingin berbuat yang lebih baik dari hari-hari kemarin. Akan tetapi, sekuat apapun komitmen kita untuk melakukan perubahan, tanpa dukungan dari komponen yang lain dalam organisasi Pengadilan Pajak, maka usaha yang kita lakukan juga tidak akan pernah optimal.

Dalam cinta ada kebersamaan. Spirit de corps atau semangat kebersamaan akan muncul seiring dengan perasaan cinta kita kepada Pengadilan Pajak. Organisasi Pengadilan Pajak, bisa kita ibaratkan dengan sistem pembuluh darah kita yang rumit. Sistem ini terdiri dari jantung dan jaringan pembuluh darah, yaitu arteri, pebuluh kapiler, dan vena. Semua arteri datang dari jantung dan semua vena menuju ke jantung, adapun arteri dan vena ini dihubungkan oleh pembuluh kapiler.

Menurut para peneliti di bidang ilmu kedokteran, jantung adalah sebuah organ otot yang berfungsi sebagai stasiun pemompaan dalam sistem peredaran darah manusia. Jantung kita ini dibungkus oleh sebuah kantong ganda yang disebut perikardium. Suatu dinding yang disebut septum, membagi jantung menjadi belahan kiri dan belahan kanan. Setiap belahan terbagi lagi menjadi ruang atas yang disebut atrium (serambi jantung) dan ruang bawah yang disebut ventrikal (bilik jantung).

Atrium menerima darah dari vena, sedangkan ventrikal memompa darah menuju arteri. Sebagian darah yang ada di dalam jantung yang baru saja memperoleh oksigen segar dari paru-paru, akan dipompa masuk ke dalam arteri besar yang disebut aorta. Dari aorta darah dibawa masuk ke dalam sistem cabang arteri yang lebih kecil. Dari arteri ini darah langsung masuk ke pembuluh kapiler. Di sini darah akan melepaskan oksigen dan zat-zat makanan yang telah diserap dari usus halus dan hati ke jaringan-jaringan. Bahan-bahan sisa, termasuk gas karbon dioksida, diambil. Setelah itu darah yang tidak mengandung oksigen lagi masuk ke vena, kemudian kembali ke jantung melalui dua vena besar. Selanjutnya darah dipompa dari jantung melalui arteri pulmonalis besar ke paru-paru. Di dalam paru-paru karbon dioksida dilepaskan dan oksigen diambil. Darah yang telah berisi oksigen kemudian dikembalikan ke jantung melalui vena pulmonalis dan barulah peredaran darah dimulai. Begitulah seterusnya tanpa henti.

Organ-organ di dalam sistem pembuluh darah kita itu merupakan satu mata rantai yang saling terkait satu dengan yang lain, jika salah satunya gagal berfungsi, maka keseluruhan proses peredaran darah akan mengalami gangguan, atau bahkan terhenti sama sekali. Begitu pula dengan sistem kerja kita di Pengadilan Pajak.

Contoh konkritnya, Pengadilan Pajak tidak akan bisa memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, tanpa persidangan yang diselenggarakan oleh Majelis Hakim, namun Majelis Hakim tidak akan bisa bersidang tanpa bantuan Panitera, sedangkan seorang Panitera juga tidak akan bisa membantu Majelis Hakim, tanpa Pembantu Panitera dan stafnya yang menyiapkan risalah sengketa, menyusun berita acara sidang, dan membuat konsep putusan. Pembantu Panitera dan stafnya juga tidak akan bisa membuat risalah sengketa, tanpa adanya distribusi berkas dari bagian Administrasi Sengketa Pajak, dan seterusnya. Kesimpulannya, semua komponen di dalam tubuh organisasi Pengadilan Pajak, saling membutuhkan dan saling ketergantungan satu dengan yang lain. Di sinilah pentingnya kebersamaan.

Pengadilan Pajak yang merupakan metamorfosis dari Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002, diharapkan menjadi badan peradilan yang dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sehubungan dengan fenomena terus meningkatnya jumlah sengketa pajak yang masuk ke Pengadilan Pajak, tentunya berdampak pada meningkatnya pula harapan terhadap proses penyelesaian sengketa pajak secara adil, dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana.

Oleh karenanya adalah suatu kebutuhan yang mendesak bagi kita untuk segera melakukan pembenahan pada institusi Pengadilan Pajak ini, yaitu dengan mencari formula dan solusi terbaik dalam fungsi pelayanan publik untuk mendukung tercapainya keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Kesimpulannya, fokus perhatian kita untuk saat ini adalah peningkatan kualitas pelayanan administrasi sengketa pajak. Untuk mewujudkannya, tentulah dibutuhkan perangkat dan prosedur kerja yang baik, antara lain adalah struktur organisasi yang tepat, uraian pekerjaan yang efektif dan efisien, sumber daya yang berkualitas, dan tentunya, remunerasi yang memadai. Tanpa itu semua, maka fungsi pelayanan publik sebagai pendukung tercapainya keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, tidak akan pernah optimal dan hanya ada dalam angan semu.


Adn@n
(dimuat di Tax Court Media edisi April 2008)